Karena Sebuah Kondom Saat itu aku berusia 20 tahun dan untuk pertama kalinya aku masuk ke sebuah toko condom di Singapura yang terletak di salah pusat surga belanja untuk orang Indonesia (kebanyakan), Orchard Road. Terus terang, setiap kali aku ke Singapura dan melewati pertokoan daerah situ, aku selalu melihat toko condom ini. Rasa penasaran akan barang-barang seperti apa yang dijual membuatku ingin selalu masuk.
Dari segi fisik, tubuhku sudah tergolong ukuran dewasa, ditambah lagi dengan suaraku yang nge-bass. Tinggiku sekitar 180an cm dan berat 75an kg., dengan bulu bulu tipis kasar di wajah. Aku harus mencukur setiap hari karena pertumbuhan buluku yang tergolong cepat. Mungkin karena inilah yang membuatku tidak perlu menunjukan id saat pergi ke hiburan malam, termasuk toko condom ini.
Baru kuketahui bahwa barang barang yang dijual sangatlah unik unik. Dari condom berbentuk kaktus, burung, dsb., juga aneka rasa, gel pelicin untuk masturbasi, sex game, cambuk, dildo aneka bentuk, hingga celana dalam sexy semuanya lengkap. Akupun mulai kebingungan tapi juga senang. Untungnya penjaga saat itu adalah lelaki jadi aku cuek cuek saja.
Ketika sedang memilih kondom, seorang lelaki berukuran sedang (175cm/68kg) masuk. Ia adalah lelaki fantasi idamanku, berpakaian formal kerja yang rada ketat di tubuhnya. Aku mengamatinya dengan seksama. Ternyata ia sedang berada di area gel pelicin. Pas sekali dengan kondom ini, pikirku. Ia lalu berbicara dengan penjualnya. Aku mendekati mereka berpura-pura melihat barang lainnya setelah mengambil beberapa kondom yang aku suka.
Tampaknya ia tahu bahwa aku mendekatinya. (Gay radar) Setelah usai berbicara, ia lalu melihat barang barang lain. Aku kembali ke area kondom berpura-pura kebingungan memilih kondom lagi, dan sedikit mencuri pandang padanya. Ia melihatku dan menghampiriku.
"Hmm, coba yang rasa ini saja. Dijamin enak.", kesan dia.
Dari yang kuketahui, orang Singapura bukanlah orang yang pertama kali mengambil langkah tapi dia berbeda.
"Oh ya? Lalu rasa apalagi? Bentuk?", Tanya aku sambil berusaha untuk ramah dan mendekatinya.
"Yang ini juga boleh. Tapi agak kecil sih.", katanya sambil menunjukkan satu kondom. Baru kuketahui ternyata ada berbagai ukuran dalam kondom, atau mungkin punya dia yang berukuran besar?
"Kalau gel?", Tanyaku walau sudah tahu.
Setelah keliling melihat lukisan-lukisan itu, aku permisi ke wc sebentar. Ia juga ingin kesana. Tak kusangka begitu sampai di tempat kencing, ia mendatangiku dan menciumku secara langsung dengan permainan lidahnya yang nikmat.
"Apa tidak apa-apa di tempat umum nih? Nanti ada orang atau petugas gemana?", tanyaku.
"Tidak apa apa koq. Disini jarang ada yang masuk. Ah, bibirmu sexy sekali", kesannya sambil menciumku kembali.
Ia lalu membuka celananya lalu membuka celanaku. Kini aku mengerti mengapa kondom yang ia sarankan itu termasuk keciluntuknya. Bagaimana tidak? Ukurannya saja selain panjang dan besar. Dari perkiraanku, aku yang memiliki penis berukuran 14cm dengan ketebalan lebih saja, ia kuperkirakan sekitar 17cm dengan tebal setengah kalinya dari aku. Tak kusabar ingin kuoral miliknya. Ia pun mengiyakan.
"Oh, enak banget oralanmu. Terusin, Tom.", kisahnya.
Tanpa disuruhpun, memang itu yang ingin kulakukan. Aku mengitari kepala penisnya terus-menerus, tempat dimana daerah paling sensitif miliknya, kemudian lidahku beralih kebawah kebagian buah zakarnya yang sudah dicukur halus. Ia pun sedikit berteriak. Ia lalu menarikku keatas dan berkata, Kini, giliranku. Sambil memainkan penisku, aku membuka kemejaku. Kehebatan permainan lidahnya tidaklah kalah hebat Pastinya Mana mungkin orang seperti Marvin tidak hebat dalam permainan sex seperti ini?
"Bagaimana kita mencoba kondom yang tadi kamu beli? Mau?", tanyanya.
"Boleh saja, dengan gel-mu ya.", jawabku.
Ia mengambil gel mint yang baru ia beli dan aku juga mengambil kondom rasa extra mint yang aku beli. Bisa kubayangkan seberapa dinginnya lubangku nantinya. Setelah memakaikan gel pada penisnya yang besar itu, aku memakaikan kondom untuknya, dan kemudian mengolesi gel lagi. Ia terlihat kedinginan dan semakin bergairah. Sambil berterima kasih karena membantunya, ia memutarkan tubuhku dan menciumku.
"Tahan ya. Siap kan?"
"Pelan pelan ya. Kamu punya terlalu besar sih."
"Tenang aja, Tom. Kamu pasti akan menikmatinya."
Dengan perlahan lahan (maklum belum pemanasan), ia mulai memasuki penisnya. Aku bisa merasakan kepala penisnya sudah masuk sebagian. Sambil memainkan nippleku, ia menenggelamkan seluruh penisnya ke dalam lubangku. Aku sempat berteriak kecil tapi ia langsung menciumku. Tangannya yang satu tetap memainkan nipple-ku, sedang yang satunya lagi mengocok penisku. Ah, aku sungguh bergairah dibuatnya.
"Enak kan, Tom? Apakah kamu menyukainya?"
"Aku suka banget. Ah, enak banget gaya mainmu. Terusin terusin", kesanku.
"Bisa kulihat dari wajahmu. Ah Tom, aku ingin keluar sekarang. Ah, aku keluar ya."
Dengan cepat aku melepas penisnya dari lubangku, membuka kondomnya lalu mengocok penisnya. Ia pun berejakulasi dengan semprotan sperma yang banyak yang diarahkan langsung ke dalam tempat pembuangan. Aku terus mengocok penisnya hingga sperma pada tetes terakhir. Ia kegelian ketika aku berbuat demikian.
"Sekarang, apa kamu mau memasukiku?", tanya ia.
"Tentu saja. Kamu pasti akan keenakan juga deh. Yakin aku."
Ia lalu membantu melumaskan gel dan memasangkan kondom pada penisnya. Secara perlahan aku memasukan penisku tepat pada sasarannya. Terlihat ia sangat menikmatinya. Aku kemudian memasukan semua batangku dan memompa penisku. Ia berdiri sambil menciumku. Dapat kurasakan betapa ketat lubangnya itu. Penisku serasa terjepit oleh lubang yang sangat kecil.
"Ahhh, aku mau keluar!", Kisahku sambil mengocok penisnya yang telah tegang kembali.
"Keluarin aja di dalam, Tom. Aku ingin merasakan hangatnya spermaku dalam lubangku", jawab ia.
Seperti yang ia inginkan, tak lama aku pun berejakulasi didalamnya. Aku kemudian mengocok penisnya kembali sambil memainkan nipple kirinya, dan kini spermanya berhamburan di sekeliling lantai. Penisku seakan menjadi lebih terjepit lagi.
Tak lama, aku mencabut keluar penisku dari lubangnya. Ia sangat terkekut melihat banyaknya cairan sperma pada kondom yang kukenakan. Kami bersih-bersih (termasuk lantai yang berceceran sperma) lalu keluar. Setelah kulihat jam tanganku, ternyata kami sudah menghabiskan waktu hampir satu jam di wc itu.
Walau kejadian ini sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, hingga saat kini, saat aku berkunjung ke Singapura atau ia datang ke Jakarta, kami selalu menyempatkan diri untuk melakukan sex. Ya jelas, siapa yang akan menolak dengan pria seperti itu?